Pentingnya Membangun Budaya Positif di Sekolah
PENTINGNYA MEMBANGUN BUDAYA POSITIF DI
SEKOLAH
Budaya positif perlu ditumbuhkan di lingkungan sekolah.
Ibarat petani yang sedang bercocok tanam, budaya positif sama halnya seperti
memberi rangkaian perawatan terhadap
bibit tersebut agar dapat tumbuh dengan subur dan sehat.
Adapun perawatan untuk "bibit unggul" di
sekolah kita adalah dengan membangun disiplin yang positif. Membangun budaya
positif di lingkungan sekolah juga perlu mendapatkan dukungan dari berbagai
pihak terutama seorang pendidik.
Budaya adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan dan
diyakini sebagai hal yang sukar diubah. Terkait dengan kebiasaan, tentu saja
dimulai dari karakter baik yang harus sudah dimiliki oleh seorang pendidik.
Murid akan mencontoh teladan yang baik dari seorang guru yang ia hormati.
Pertama, membudayakan disiplin positif yang perlu kita
lestarikan sejak dini. Motivasi tertinggi untuk menunjukkan kedisiplinan adalah
keyakinan diri dari seorang murid bahwa ia perlu menaati peraturan bukan karena
takut akan hukuman melainkan ia percaya bahwa di setiap peraturan memiliki kandungan
kebaikan bagi dirinya dan orang lain.
Selanjutnya, posisi kontrol seorang guru terhadap
pemberlakuan disiplin yang positif. Kebanyakan yang terjadi, konsentrasi
seorang pendidik saat menegakkan disiplin adalah dengan membangun imej bahwa ia
adalah pendidik yang garang. Hal ini keliru. Posisi penghukum ketika menjadi
seorang pendidik tentu akan berdampak negatif pada murid. Mereka akan merasa
takut, tetapi jika tidak diawasi, mereka bisa saja mengulang pelanggaran
disiplin.
Seorang pendidik hendaknya menjadi seorang manajer yang
baik bagi seorang murid ketika mendapati muridnya melakukan kesalahan. Tidak
perlu marah, atau memelas agar mereka berhenti melakukan pelanggaran disiplin
tersebut. Kita hanya perlu memahami posisi mereka dengan menggunakan segitiga
restitusi:
1. Menstabilkan identitas,
2. Memvalidasi alasan mereka melakukan
pelanggaran,
3. Menanyakan keyakinan yang sudah mereka pahami.
Dalam hal ini, keyakinan kelas sudah harus disepakati
sedemikian rupa dengan bahasa yang positif dari hasil kesepakatan kelas dan
diulangi dalam setiap pertemuan di kelas, seperti halnya " Meminta izin
sebelum meminjam barang", "berbicara yang sopan", dan
sebagainya.
Pada dasarnya, ketika murid melakukan pelanggaran
disiplin, mereka memiliki salah satu dari kebutuhan dasarnya sebagai manusia
yang tidak terpenuhi. Adapun kebutuhan dasar manusia adalah :
1. Kebutuhan bertahan hidup,
2. Cinta dan kasih sayang,
3. Kebutuhan pengakuan akan kemampuan
4. Kebutuhan akan pilihan
5. Kebutuhan untuk merasa senang.
Jika kelima hal tersebut terpenuhi dengan baik maka bisa
dipastikan tidak akan ada pelanggaran disiplin di sekolah.
Suatu ketika, di dalam kelas saya terdapat siswa yang
senang menjadi pusat perhatian ketika melakukan hal-hal sederhana seperti
memperagakan goyangan viral yang tidak layak dilakukan oleh anak-anak dari
media sosial sehingga membuat teman-temannya riuh tertawa bahkan ada yang
menyorakinya. Kelas menjadi kurang kondusif untuk kembali meneruskan pelajaran.
Setelah selesai, saya memanggilnya untuk menerapkan restitusi.
Restitusi adalah sebuah proses menciptakan kondisi bagi
murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada
kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen ; 2004). Berikut
tahapan yang saya lakukan :
1. Saya memulai untuk mengatakan, " Membuat kelas
menjadi riuh dan saling melempar sorakan itu akan mengganggu konsentrasi
belajar. Menurut kamu, apakah hal itu baik?"
2. Setelah murid menjawab bahwa hal tersebut tidak baik,
tahapan selanjutnya adalah dengan memvalidasi tindakan yang salah, " Kamu
pasti punya alasan kenapa melakukan hal tersebut, kan?"
3. Murid menjawab sesuai dengan kebutuhan dasarnya yang
tidak terpenuhi, "Saya senang mendapatkan perhatian teman-teman."
4. Langkah selanjutnya adalah, " Lalu, keyakinan
kelas apa yang telah kita sepakati?"
5. Murid menjawab keyakinan kelas yang sudah disepakati
bersama, "Berbicara dan bertingkah laku yang baik,sopan."
6. Terakhir, saya menanyakan solusi dari si murid,
" Apa yang bisa kamu lakukan untuk berbicara dan bertingkah laku yang baik
?"
7. Siswa menjawab, " Saya tidak akan bergoyang
tidak layak seperti itu lagi di kelas, bu."
Demikianlah proses restitusi dengan posisi guru sebagai
seorang manajer. Tahapan tersebut harus dilalui dengan tenang tanpa menunjukkan
amarah atau gestur tubuh guru yang garang seperti melipat tangan dan memasang
tampang seolah berkata, " Dengarkan aku, awas!."
Sebelum mempelajari tentang restitusi melalui Pendidikan
Guru Penggerak ini, saya tidak tahu bahwa murid-murid yang melakukan
pelanggaran disiplin sebenarnya sedang mendemonstrasikan kebutuhan dasar yang
tidak mereka dapatkan sehingga mereka mencari cara agar kebutuhan tersebut
terpenuhi sekalipun dengan cara yang kurang tepat.
Mengembangkan budaya positif di sekolah pada hakekatnya
adalah melakukan perubahan positif dalam mencapai visi sekolah yang ideal yakni
sekolah yang dapat mendukung penumbuhan murid menjadi pelajar Pancasila.
Sekolah perlu terus berupaya untuk meningkatkan
kualitas, efisiensi, dan kompetitif dalam mewujudkan lingkungan belajar yang
berpihak pada murid. Perubahan positif tersebut dapat dicapai dengan
mengembangkan budaya positif di sekolah.
Dokumentasi :
Sosialisasi Penerapan Budaya Positif di Sekolah